MAKALAH
MAQAMAT
DAN AHWAL DALAM TASAWUF
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Sejarah
Pemikiran Islam”
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag
Disusun Oleh :
Muhamad Nasrulloh:
2844124016
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM
PASCASARJANA
(
STAIN ) TULUNGAGUNG
FEBRUARI
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmad, taufik dan
hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih diantaranya
kepada:
1.
Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku Ketua STAIN Tulungagung.
2.
Prof.
Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag,
selaku Dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam.
3.
Semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Selanjutnya demi kesempurnaan penulis dalam
menyelesaiakan makalah berikutnya, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga dapat menyelesaikan
dengan baik dan sempurna.
Mudah-mudahan
dengan adanya makalah ini dapat menamba wawasan bagi semua pihak sehingga dapat
memetik isi yang terkandung di dalamnya.
Tulungagung, 20
Februari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN1
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.
Tujuan................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A.
Maqamat............................................................................................ 3
B.
Ahwal................................................................................................ 17
BAB III PENUTUP........................................................................................... 24
A.
Kesimpulan........................................................................................ 24
B.
Saran.................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan
akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara
melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian
tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian
tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf,
tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi
dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat)
menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah),
lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak
dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui
amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah
untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi
sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat)
secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan
tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan
menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini
karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli
An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau
secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud
adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari
hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju
Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat
dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar
keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat
menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang
telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam
selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal
dalam tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapan-tahapannya
dalam tasawuf ?
2.
Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapan-tahapannya dalam
tasawuf?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui penjelasan dari maqamat dan tahapan-tahapannya
dalam tasawuf.
2.
Untuk mngetahui penjelasan dari ahwal dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Maqamat
Secara
harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti
tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf,
maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang
hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam
sebelumnya.
Tentang
berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’,
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal
dan al-ridla.
Dalam
pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan
bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud,
al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah
dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat,
dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan
dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing
istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat
berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan
“penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi
adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan
berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut
dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat
menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang
bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian
mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan
ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam
dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi
orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan
bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah
dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat
ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain
halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan
taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan
meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan
perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali
perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan
melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu
Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua.
Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi
pertengahan), yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu
taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang
melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.
Taubat
seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin"
adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu
adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia
berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang
ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung
dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia
berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia
adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah
mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan
berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia
cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan
merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya,
niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan
pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih
itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka
perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan
untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang.
Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya,
dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang
mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan
masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat
ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu.
Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini
adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa
adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran
ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini
ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan
kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini,
karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang
diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan
penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika
ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan
api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar
yang dia cintai itu.
Ilmu dan penyesalan, serta
tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta
berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan
dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula
taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan
sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan
konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw :
" Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij
hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas
r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena
penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan
penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka
penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang
membuahkannya.
Berkaitan
dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
úïÏ%©!$#ur #sÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.s ©!$# (#rãxÿøótGó$$sù öNÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøót UqçR%!$# wÎ) ª!$# öNs9ur (#rÅÇã 4n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur cqßJn=ôèt (ال عمران:
135)
Artinya:
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.(Ali Imron: 135).
(#þqç/qè?ur
n<Î)
«!$# $·èÏHsd
tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè? (النّور:
31)
Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)
2. Zuhud
Secara
etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid.
Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah
tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada
kesenangan duniawi.
Mengenai
pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi berkata: “Zuhd
ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.”
Ali bin Abi Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd berarti
tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang
yang beriman atau tidak.” Dan al-Syibli ketika ditanya tentang zuhd, berkata:
“Dalam kenyataannya zuhd itu tidak ada. Jika seseorang bersikap zuhd pada
sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan zuhd, dan jika
seseorang bersikap zuhd pada sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana
bisa dikatakan bahwa itu zuhd, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya
dan dia masih memilikinya? Zuhd berarti menahan nafsu, bermurah hati dan
berbuat kebaikan.” Hal ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia mengartikan zuhd
sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya. Dan jika
sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat dikatakan bahwa
orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu memang telah tertinggalkan, sedangkan
jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang itu
meninggalkannya. Namun, betapapun bervariasinya pengertian yang diberikan,
tekanan utama pada sikap zuhd adalah mengurangi keinginan terhadap
kehidupan duniawi.
Untuk
lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih
dirasa perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut
Ibn Qudamah al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada
sesuatu yang lebih baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah
mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh
kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd
ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di
tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari
tangannya.
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an
terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di antaranya:
ö@è%
፯tFtB
$u÷R9$# ×@Î=s% äotÅzFy$#ur
×öyz Ç`yJÏj9 4s+¨?$#
wur tbqßJn=ôàè? ¸xÏGsù (النّساء:
77)
Artinya:
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’:
77).
$tBur äo4quysø9$#
!$u÷R$!$#
wÎ) Ò=Ïès9
×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur
äotÅzFy$# ×öyz
tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)Gt 3 xsùr&
tbqè=É)÷ès?
(الأنعام : 32)
Artinya: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am:
32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa
kehidupan dunia yang kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap
dan musnah dalam seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu
kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi
dan merupakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga
tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat.
Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud
meninggalkan kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi
karena kecintaan terhadap Allah semata. Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu
membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah.
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga
mengklasifikasikan zuhud menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a.
Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud.
Tingkatan ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya
zuhud, yaitu:
1)
As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan
dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2)
Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia
secara sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3)
A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi
kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai
apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
b.
Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai.
Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1)
Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan
zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2)
Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan
kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3)
Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di
mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya
ingin berjumpa dengan Allah.
c.
Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus
ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1)
Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2)
Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu,
seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
d.
Zuhud dengan meninggalkan harta, pangkat dan segala
sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkannya. Meninggalkan dirham,
pangkat, dan segala kesenangan dunia.
3. Sabar
Sabar,
secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan
menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan
dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar
tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang
sungguh-sungguh.
Sabar,
menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
4. Wara’
Wara’,
secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan
sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang
menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani
yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah
dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan
segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah
adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.
Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari
syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang
menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif
yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
5. Faqr
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita.
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak
meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta
tetapi tidak menolak.
6. Tawakkal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai
di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan,
tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal
adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi
lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya
gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian
itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan,
jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya.
Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena
Allah.
7. Ridha
Ridha,
secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara
umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha
dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati
sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa
senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak
meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha
ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan
sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati
dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang
diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut
Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan
ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa
seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
8. Mahabbah
Mahabbah berasal
dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang
untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang
mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah
al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam
pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada
siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan
neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan
Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani,
Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut
Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan
Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan
Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan
alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi
Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap
perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah
al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta,
cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut
mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan
menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta,
sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai
penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak
pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala
puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam
pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah
al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah
kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin, yaitu cinta
yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan,
kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa
al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifat
para sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun
tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya adalah:
a. Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah)
dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b. Melakukan segala hal yang disenangi
kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang
diperintahkan.
c. Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d. Merasa tenang dan damai tatkala
bermunajat dengan Allah dan membaca kitab-Nya.
e. Tidak merasa gundah jika kelihangan
sesuatu selain Allah dan merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa
mengingat Allah.
f. Merasa nikmat saat menjalankan perintah
Allah dan tidak menganggap perintah itu sebagai beban.
g. Menyanyangi semua hamba Allah,
berperilaku tegas kepada semua musuh Allah.
9. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata
‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman.
Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan
yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu
pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb
yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala
rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat.
Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur
Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan
Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali
adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’
‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang
awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah
dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa
menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah
dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas
dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri
adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat
pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat
dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari,
siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk
sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak,
pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran
sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat
rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan
mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
¬!ur ßàfó¡o
`tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur $YãöqsÛ $\döx.ur Nßgè=»n=Ïßur
Íirßäóø9$$Î/
ÉA$|¹Fy$#ur
(الرعد: 15)
Artinya: Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit
dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula)
bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan
Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan
bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid
mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat
bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman
hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan
alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih
dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam
lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan.
Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq
bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar
di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan
di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam
lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.
B.
Ahwal
Secara
bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti
keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah
sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak
mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan
atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada
suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau
sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal
sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan
takut, dan sebagainya.
Jika
berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,
yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika
hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak
menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang
disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang
lama, yang disebut bawadih.
Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan
diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya
permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.
Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga
terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang
paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin.
Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Muraqabah
Muraqabah
artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini
mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya.
Sesungguhnya
manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung
nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian
(mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri
seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy
mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama,
hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT.
Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu
sehari-hari”.
2. Khauf
Khauf adalah
suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati
karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al
Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya
adalah:
a.
Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti
kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan
tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.
Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang
sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus
asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian,
khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c. Tingkatan
Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf
qashir dan mufrith.
Rasulullah
SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah
SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon".
Abû
al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh.
Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka
menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba,
mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan
penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah
firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan
melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak
berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah
SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah
SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari
pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada
seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu
ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang
lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan
tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.” Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu.
Dia mengira bahwa perempuan itu telah
memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia
mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu
dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu
bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat
ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak
pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang
tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak
melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti."
Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi
karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya.
Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya,
"Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku
karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut."
3. Raja’
Raja’ dapat
berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah
ditegaskan dalam al-Qur’an:
¨bÎ)
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä z`É©9$#ur (#rãy_$yd
(#rßyg»y_ur Îû È@Î6y «!$#
y7Í´¯»s9'ré& tbqã_öt |MyJômu
«!$# 4 ª!$#ur
Öqàÿxî
ÒOÏm§
(البقرة: 218)
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Al-Baqarah:
218).
Orang yang
harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya
sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
raja’
yang tidak dibarengi
dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang
berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk
sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena
takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida
atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah
adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat
mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah,
ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi,
orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang
hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah
terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di
tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah,
sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang
paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka
mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram
kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan
keagungan-Nya.
5. Uns
Uns (suka
cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah
merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang
dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap
jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya
lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya.
Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan
yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi
dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab
sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang
yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan
tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun
berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu
berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan
menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir
mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat
ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang
dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala
sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga,
yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa,
kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
6. Musyahadah
Musyahadah secara
harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf
adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau
penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah
ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada
dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi,
segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir
yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu,
seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi
seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah
rasa cinta kasih.
Perpaduan
antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan
secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap
tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan
secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti
perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta
rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara
langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah
tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.
Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan
tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun
mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau
fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu
tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum
menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan
dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk
berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang
berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum
al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah,
dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Sementara itu
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan
al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri
dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa,
tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan
dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika
berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,
yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika
hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak
menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang
disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang
lama, yang disebut bawadih
dalam
penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al-
hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf,
ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
B. Saran
Untuk
memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal, hendaknya
tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini
semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya
untuk lebih mendalami ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam
makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik
sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004
Syukur,
Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Syukur,
Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.2003
Yusuf, Anwar
Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia.
2003
Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011